Puasa Internet di Tengah Era Digital, Mungkinkah Hal Ini Dilakukan?
KOMPAS.com – Tidak
dapat dipungkiri, kebutuhan akan akses internet yang konstan dan stabil
boleh dianggap sebagai kebutuhan primer bagi masyarakat urban.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puasa Internet di Tengah Era Digital, Mungkinkah Hal Ini Dilakukan?", https://sains.kompas.com/read/2019/06/13/173200023/puasa-internet-di-tengah-era-digital-mungkinkah-hal-ini-dilakukan-?page=all.
Penulis : Julio Subagio
Editor : Gloria Setyvani Putri
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puasa Internet di Tengah Era Digital, Mungkinkah Hal Ini Dilakukan?", https://sains.kompas.com/read/2019/06/13/173200023/puasa-internet-di-tengah-era-digital-mungkinkah-hal-ini-dilakukan-?page=all.
Penulis : Julio Subagio
Editor : Gloria Setyvani Putri
KOMPAS.com – Tidak
dapat dipungkiri, kebutuhan akan akses internet yang konstan dan stabil
boleh dianggap sebagai kebutuhan primer bagi masyarakat urban.
Hampir setiap saat kita selalu menyempatkan diri untuk mencari tahu
informasi terkini, membuka media sosial, atau hanya sekedar iseng
membaca status kenalan online kita.
Hal ini telah dianggap sebagai rutinitas harian, yang tidak lagi bisa
terpisahkan dari jadwal aktivitas kita setiap harinya.
Hal ini dibuktikan dengan berita viral beberapa hari lalu tentang
seorang anak yang mengamuk karena tidak ada akses internet di kampung
orangtuanya.
Berita tersebut bisa jadi menyadarkan kita akan ketergantungan pada
internet. Mungkin kita bisa saja tertawa melihat anak tersebut, namun
bukankah kita juga akan merasa kesal dan jengah jika berada dalam posisi
yang sama?
Baca juga: Penemuan yang Mengubah Dunia: Media Sosial, Kenapa Bikin
Panik saat Diblokir?
Generasi internet
Saat ini, hampir seluruh kalangan masyarakat urban mengenal internet.
Bagi orang yang lahir pada dekade 90-an hingga beberapa dekade awal abad
ke-21, yang kerap diklasifikasikan sebagai generasi millenial dan gen
Z, akses internet serta komunikasi online merupakan hal lumrah dan
hampir tidak dapat dilepaskan dari fase kehidupan mereka.
Di sisi lain, bagi generasi yang lebih tua, perlahan mereka mulai
beradaptasi dengan kehadiran internet dalam ruang kehidupan mereka.
Meski adaptasinya tidak secepat generasi muda, tentunya, terbukti dari
berseliwerannya berita hoax dan misinformasi dengan mudah yang
ditenggarai lebih banyak disebarkan oleh generasi ini.
Lewat internet, komunikasi seakan tanpa batas dan dapat berlangsung
begitu cepat. Berbagai informasi dapat dengan mudah diakses kapanpun dan
dimanapun, asalkan ada koneksi internet.
Sayangnya, hal ini juga membuat kita mudah merasakan kejenuhan, karena
otak kita menerima informasi yang begitu banyak dalam kurun waktu yang
singkat, sehingga kita tidak punya banyak waktu untuk mencerna dan
memverifikasi isi informasi tersebut.
Digital dementia
Kondisi ini dapat mengurangi kemampuan kognitif yang dimiliki otak kita.
Manfred Spitzer, seorang neurosaintis asal Jerman, mengenalkan istilah
digital dementia, yang menggambarkan penurunan daya pikir dan kemampuan
kognitif seseorang akibat penggunaan teknologi digital dalam frekuensi
tinggi.
Hal ini salah satunya diakibatkan oleh peningkatan frekuensi dan
intensitas stress yang dialami seseorang akibat penerimaan informasi
yang melimpah dari berbagai sumber. Kondisi ini dapat mempengaruhi
kesehatan emosional dan fisik seseorang.
Ketergantungan kita pada teknologi digital juga melemahkan memori kita,
seperti kemampuan untuk mengingat nomor telepon, hari dan tanggal,
jadwal harian, atau nama orang.
Salah satu studi menunjukan bahwa semakin lama seseorang fokus untuk
mengambil gambar atau video untuk suatu peristiwa, maka peristiwa
tersebut menjadi sulit untuk diingat.
Memori kita menjadi lebih singkat dan beberapa bulan kemudian, memori
akan kejadian tersebut lenyap dari ingatan.
Kultur Instagram & museum pop-up
Mungkin suatu saat kita juga merasakan kebosanan akan hiruk-pikuk dunia
maya, sehingga mencoba untuk berlibur ke alam terbuka, entah itu ke
pantai atau mendaki gunung, misalnya.
Namun, saat tiba di lokasi, muncul dorongan untuk mengabadikan momen
liburan dalam bentuk foto atau video, untuk kemudian diunggah dan
dibagikan lewat akun media sosial.
Kondisi ini memunculkan suatu fenomena yang dikenal sebagai kultur
Instagram, di mana imaji diri dan status sosial seseorang ditentukan
lewat profil dan aktivitasnya di akun media sosial.
Alih-alih menikmati secara langsung pemandangan alam terbuka, seseorang
menjadi secara naluriah memikirkan panorama mana yang cocok menjadi
latar belakang foto selfie, titik mana yang memiliki tingkat pencahayaan
paling bagus, dan pose seperti apa yang pas dengan komposisi foto.
Setelah foto diambil, pikiran kita akan beralih untuk memilih foto mana
yang paling representatif serta filter apa yang cocok untuk digunakan.
Kultur Instagram ini juga memunculkan berbagai lokasi yang secara khusus
ditujukan sebagai lokasi pengambilan foto. Lokasi yang dikenal dengan
istilah museum pop-up ini mulai menjamur di beberapa kota besar, tak
terkecuali di Indonesia.
Museum pop-up ini menawarkan "pengalaman" khusus yang tidak didapatkan
di lokasi lain. Lokasi ini diwarnai dengan dekorasi unik nan berwarna
yang sekilas memanjakan mata.
" Internet merupakan ruang visual, dan museum ini dengan hiasan kolam
permen dan berbagai properti emoji berukuran raksasasa, khusus didesain
untuk menyesuaikan grid Instagram. Apa lagi yang kurang?" ujar Amanda
Hess, jurnalis dan kritikus New York Times.
Dalam tulisannya, Hess mengkritik secara sinis bermunculannya museum
pop-up, yang dinilainya sebagai pemicu krisis eksistensial. Menurutnya,
tidak ada pengalaman nyata yang didapat dari lokasi tersebut, selain
kelelahan karena harus mengantre sekian lama untuk mendapatkan foto yang
ideal.
Hess mengamati bahwa pengunjung museum pop-up ini hanya ingin memperoleh
beberapa foto dengan muka tersenyum dan nampak bahagia, yang kemudian
diunggah ke akun media sosial untuk mendapatkan like dari sekumpulan
orang yang tidak benar-benar dikenalnya.
Padahal setelahnya, foto tersebut akan terlupakan begitu saja, dan
pencarian akan lokasi instagrammable lain dimulai.
Hal ini menciptakan kesenjangan dan keterpisahan antara pengalaman
aktual di tempat tersebut dengan imaji dan persepsi pengalaman yang
ingin mereka ciptakan, sehingga orang lain akan menyanjung foto
tersebut.
Dengan kata lain, kita menjadi tidak tertarik untuk benar-benar merasa
bahagia, namun kita ingin dipandang sebagai orang yang bahagia oleh
publik. Hal ini menjadikan kita semakin narsistik dan hau akan pengakuan
orang lain, bahkan yang tidak kita kenal sekalipun.
Dan sebagian orang rela menghabiskan waktu dan biaya demi pengalaman
semu belaka.
"Mengamati karya seni atau mendaki gunung mengajak kita untuk
menciptakan dan memikirkan makna hidup. Tapi di lokasi seperti museum
pop-up ini, ide untuk berinteraksi dengan dunia tampak begitu
transaksional sehingga peranan kita sebagai suatu individu yang unik
nyaris lenyap begitu saja," tutur Hess.
Fenomena serupa juga dijumpai pada konser musik, di mana penonton sibuk
untuk merekam konser lewat gadget mereka, dibandingkan menikmati konser
tersebut secara langsung.
Baca juga: Studi: Perilaku Pecandu Media Sosial Mirip Kecanduan Narkoba
Membatasi jebakan internet
Setelah menyadari hal tersebut, lantas mungkinkah kita benar-benar
unplug dari internet?
Dengan begitu mengakarnya internet dalam keseharian, sepertinya hal
tersebut nampak mustahil.
Meski demikian, terdapat beberapa upaya yang bisa kita lakukan, menurut
Jakub Kus, pakar psikologi dari SWPS University of Social Sciences and
Humanities.
Kus menyarankan kita untuk sadar akan istilah virtual archive trap.
"Anda tidak harus mengambil gambar untuk setiap tempat yang anda
kunjungi, setiap makanan dan setiap menit kehidupan anda untuk kemudian
dibagikan secara online. Biarkan diri anda untuk benar-benar menikmati
dan mengalami momen, dan lupakan segala hal seperti pose yang sempurna
atau frame terbaik untuk foto anda," jelas Kus.
Saat ini, media sosial menjadi gudang penyimpan milyaran foto, yang
senantiasa terus bertambah dan diperbarui setiap saat oleh berbagai
pengguna internet.
Namun, bukan berarti anda dilarang untuk mengunggah foto ke internet.
"Tidak ada yang salah dengan berbagi foto dengan teman anda, tapi
baiknya kita membatasi diri agar tidak kehilangan kendali. Penting untuk
diingat bahwa dunia yang kita lihat secara langsung melalui mata kita
jauh lebih berharga karena bisa kita sentuh dan rasakan, dibandingkan
dunia yang terjebak dalam lensa foto atau layar tablet," paparnya.
Kus juga mengingatkan akan bahaya yang dapat ditimbulkan akibat obsesi
media sosial.
"Menilai identitas diri anda hanya dari jumlah like di media sosial
dapat menimbulkan bahaya psikologis dengan konsekuensi jangka panjang,"
tambahnya.
Baca juga: Kongres Sains India: Internet dan Pesawat Ada sejak Zaman
Mahabarata
Kus memperingati agar tidak memandang identitas virtual di internet
sebagai satu-satunya bukti eksistensi seseorang. Seharusnya, kita lebih
mengapresiasi pengalaman dan interaksi secara langsung yang dapat
menciptakan memori bersama yang dapat dikenang oleh orang terdekat.
Kita perlu mengingat bahwa akun media sosial hanyalah sekedar media
untuk memudahkan komunikasi, bukan indentitas total yang
merepresentasikan seluruh aspek kehidupan kita di dunia nyata. Jangan
biarkan internet dan media sosial menentukan dan mendikte tingkat
self-esteem dan jati diri seseorang.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puasa Internet di Tengah Era Digital, Mungkinkah Hal Ini Dilakukan?", https://sains.kompas.com/read/2019/06/13/173200023/puasa-internet-di-tengah-era-digital-mungkinkah-hal-ini-dilakukan-?page=all.
Penulis : Julio Subagio
Editor : Gloria Setyvani Putri
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puasa Internet di Tengah Era Digital, Mungkinkah Hal Ini Dilakukan?", https://sains.kompas.com/read/2019/06/13/173200023/puasa-internet-di-tengah-era-digital-mungkinkah-hal-ini-dilakukan-?page=all.
Penulis : Julio Subagio
Editor : Gloria Setyvani Putri
ak dapat
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puasa Internet di Tengah Era Digital, Mungkinkah Hal Ini Dilakukan?", https://sains.kompas.com/read/2019/06/13/173200023/puasa-internet-di-tengah-era-digital-mungkinkah-hal-ini-dilakukan-?page=all.
Penulis : Julio Subagio
Editor : Gloria Setyvani Putri
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puasa Internet di Tengah Era Digital, Mungkinkah Hal Ini Dilakukan?", https://sains.kompas.com/read/2019/06/13/173200023/puasa-internet-di-tengah-era-digital-mungkinkah-hal-ini-dilakukan-?page=all.
Penulis : Julio Subagio
Editor : Gloria Setyvani Putri
ak dapat
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puasa Internet di Tengah Era Digital, Mungkinkah Hal Ini Dilakukan?", https://sains.kompas.com/read/2019/06/13/173200023/puasa-internet-di-tengah-era-digital-mungkinkah-hal-ini-dilakukan-?page=all.
Penulis : Julio Subagio
Editor : Gloria Setyvani Putri
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puasa Internet di Tengah Era Digital, Mungkinkah Hal Ini Dilakukan?", https://sains.kompas.com/read/2019/06/13/173200023/puasa-internet-di-tengah-era-digital-mungkinkah-hal-ini-dilakukan-?page=all.
Penulis : Julio Subagio
Editor : Gloria Setyvani Putri