Wednesday, November 13, 2019

Puasa Internet di Tengah Era Digital, Mungkinkah Hal Ini Dilakukan?

KOMPAS.com – Tidak dapat dipungkiri, kebutuhan akan akses internet yang konstan dan stabil boleh dianggap sebagai kebutuhan primer bagi masyarakat urban.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puasa Internet di Tengah Era Digital, Mungkinkah Hal Ini Dilakukan?", https://sains.kompas.com/read/2019/06/13/173200023/puasa-internet-di-tengah-era-digital-mungkinkah-hal-ini-dilakukan-?page=all.
Penulis : Julio Subagio
Editor : Gloria Setyvani Putri
KOMPAS.com – Tidak dapat dipungkiri, kebutuhan akan akses internet yang konstan dan stabil boleh dianggap sebagai kebutuhan primer bagi masyarakat urban. Hampir setiap saat kita selalu menyempatkan diri untuk mencari tahu informasi terkini, membuka media sosial, atau hanya sekedar iseng membaca status kenalan online kita. Hal ini telah dianggap sebagai rutinitas harian, yang tidak lagi bisa terpisahkan dari jadwal aktivitas kita setiap harinya. Hal ini dibuktikan dengan berita viral beberapa hari lalu tentang seorang anak yang mengamuk karena tidak ada akses internet di kampung orangtuanya. Berita tersebut bisa jadi menyadarkan kita akan ketergantungan pada internet. Mungkin kita bisa saja tertawa melihat anak tersebut, namun bukankah kita juga akan merasa kesal dan jengah jika berada dalam posisi yang sama? Baca juga: Penemuan yang Mengubah Dunia: Media Sosial, Kenapa Bikin Panik saat Diblokir? Generasi internet Saat ini, hampir seluruh kalangan masyarakat urban mengenal internet. Bagi orang yang lahir pada dekade 90-an hingga beberapa dekade awal abad ke-21, yang kerap diklasifikasikan sebagai generasi millenial dan gen Z, akses internet serta komunikasi online merupakan hal lumrah dan hampir tidak dapat dilepaskan dari fase kehidupan mereka. Di sisi lain, bagi generasi yang lebih tua, perlahan mereka mulai beradaptasi dengan kehadiran internet dalam ruang kehidupan mereka. Meski adaptasinya tidak secepat generasi muda, tentunya, terbukti dari berseliwerannya berita hoax dan misinformasi dengan mudah yang ditenggarai lebih banyak disebarkan oleh generasi ini. Lewat internet, komunikasi seakan tanpa batas dan dapat berlangsung begitu cepat. Berbagai informasi dapat dengan mudah diakses kapanpun dan dimanapun, asalkan ada koneksi internet. Sayangnya, hal ini juga membuat kita mudah merasakan kejenuhan, karena otak kita menerima informasi yang begitu banyak dalam kurun waktu yang singkat, sehingga kita tidak punya banyak waktu untuk mencerna dan memverifikasi isi informasi tersebut. Digital dementia Kondisi ini dapat mengurangi kemampuan kognitif yang dimiliki otak kita. Manfred Spitzer, seorang neurosaintis asal Jerman, mengenalkan istilah digital dementia, yang menggambarkan penurunan daya pikir dan kemampuan kognitif seseorang akibat penggunaan teknologi digital dalam frekuensi tinggi. Hal ini salah satunya diakibatkan oleh peningkatan frekuensi dan intensitas stress yang dialami seseorang akibat penerimaan informasi yang melimpah dari berbagai sumber. Kondisi ini dapat mempengaruhi kesehatan emosional dan fisik seseorang. Ketergantungan kita pada teknologi digital juga melemahkan memori kita, seperti kemampuan untuk mengingat nomor telepon, hari dan tanggal, jadwal harian, atau nama orang. Salah satu studi menunjukan bahwa semakin lama seseorang fokus untuk mengambil gambar atau video untuk suatu peristiwa, maka peristiwa tersebut menjadi sulit untuk diingat. Memori kita menjadi lebih singkat dan beberapa bulan kemudian, memori akan kejadian tersebut lenyap dari ingatan. Kultur Instagram & museum pop-up Mungkin suatu saat kita juga merasakan kebosanan akan hiruk-pikuk dunia maya, sehingga mencoba untuk berlibur ke alam terbuka, entah itu ke pantai atau mendaki gunung, misalnya. Namun, saat tiba di lokasi, muncul dorongan untuk mengabadikan momen liburan dalam bentuk foto atau video, untuk kemudian diunggah dan dibagikan lewat akun media sosial. Kondisi ini memunculkan suatu fenomena yang dikenal sebagai kultur Instagram, di mana imaji diri dan status sosial seseorang ditentukan lewat profil dan aktivitasnya di akun media sosial. Alih-alih menikmati secara langsung pemandangan alam terbuka, seseorang menjadi secara naluriah memikirkan panorama mana yang cocok menjadi latar belakang foto selfie, titik mana yang memiliki tingkat pencahayaan paling bagus, dan pose seperti apa yang pas dengan komposisi foto. Setelah foto diambil, pikiran kita akan beralih untuk memilih foto mana yang paling representatif serta filter apa yang cocok untuk digunakan. Kultur Instagram ini juga memunculkan berbagai lokasi yang secara khusus ditujukan sebagai lokasi pengambilan foto. Lokasi yang dikenal dengan istilah museum pop-up ini mulai menjamur di beberapa kota besar, tak terkecuali di Indonesia. Museum pop-up ini menawarkan "pengalaman" khusus yang tidak didapatkan di lokasi lain. Lokasi ini diwarnai dengan dekorasi unik nan berwarna yang sekilas memanjakan mata. " Internet merupakan ruang visual, dan museum ini dengan hiasan kolam permen dan berbagai properti emoji berukuran raksasasa, khusus didesain untuk menyesuaikan grid Instagram. Apa lagi yang kurang?" ujar Amanda Hess, jurnalis dan kritikus New York Times. Dalam tulisannya, Hess mengkritik secara sinis bermunculannya museum pop-up, yang dinilainya sebagai pemicu krisis eksistensial. Menurutnya, tidak ada pengalaman nyata yang didapat dari lokasi tersebut, selain kelelahan karena harus mengantre sekian lama untuk mendapatkan foto yang ideal. Hess mengamati bahwa pengunjung museum pop-up ini hanya ingin memperoleh beberapa foto dengan muka tersenyum dan nampak bahagia, yang kemudian diunggah ke akun media sosial untuk mendapatkan like dari sekumpulan orang yang tidak benar-benar dikenalnya. Padahal setelahnya, foto tersebut akan terlupakan begitu saja, dan pencarian akan lokasi instagrammable lain dimulai. Hal ini menciptakan kesenjangan dan keterpisahan antara pengalaman aktual di tempat tersebut dengan imaji dan persepsi pengalaman yang ingin mereka ciptakan, sehingga orang lain akan menyanjung foto tersebut. Dengan kata lain, kita menjadi tidak tertarik untuk benar-benar merasa bahagia, namun kita ingin dipandang sebagai orang yang bahagia oleh publik. Hal ini menjadikan kita semakin narsistik dan hau akan pengakuan orang lain, bahkan yang tidak kita kenal sekalipun. Dan sebagian orang rela menghabiskan waktu dan biaya demi pengalaman semu belaka. "Mengamati karya seni atau mendaki gunung mengajak kita untuk menciptakan dan memikirkan makna hidup. Tapi di lokasi seperti museum pop-up ini, ide untuk berinteraksi dengan dunia tampak begitu transaksional sehingga peranan kita sebagai suatu individu yang unik nyaris lenyap begitu saja," tutur Hess. Fenomena serupa juga dijumpai pada konser musik, di mana penonton sibuk untuk merekam konser lewat gadget mereka, dibandingkan menikmati konser tersebut secara langsung. Baca juga: Studi: Perilaku Pecandu Media Sosial Mirip Kecanduan Narkoba Membatasi jebakan internet Setelah menyadari hal tersebut, lantas mungkinkah kita benar-benar unplug dari internet? Dengan begitu mengakarnya internet dalam keseharian, sepertinya hal tersebut nampak mustahil. Meski demikian, terdapat beberapa upaya yang bisa kita lakukan, menurut Jakub Kus, pakar psikologi dari SWPS University of Social Sciences and Humanities. Kus menyarankan kita untuk sadar akan istilah virtual archive trap. "Anda tidak harus mengambil gambar untuk setiap tempat yang anda kunjungi, setiap makanan dan setiap menit kehidupan anda untuk kemudian dibagikan secara online. Biarkan diri anda untuk benar-benar menikmati dan mengalami momen, dan lupakan segala hal seperti pose yang sempurna atau frame terbaik untuk foto anda," jelas Kus. Saat ini, media sosial menjadi gudang penyimpan milyaran foto, yang senantiasa terus bertambah dan diperbarui setiap saat oleh berbagai pengguna internet. Namun, bukan berarti anda dilarang untuk mengunggah foto ke internet. "Tidak ada yang salah dengan berbagi foto dengan teman anda, tapi baiknya kita membatasi diri agar tidak kehilangan kendali. Penting untuk diingat bahwa dunia yang kita lihat secara langsung melalui mata kita jauh lebih berharga karena bisa kita sentuh dan rasakan, dibandingkan dunia yang terjebak dalam lensa foto atau layar tablet," paparnya. Kus juga mengingatkan akan bahaya yang dapat ditimbulkan akibat obsesi media sosial. "Menilai identitas diri anda hanya dari jumlah like di media sosial dapat menimbulkan bahaya psikologis dengan konsekuensi jangka panjang," tambahnya. Baca juga: Kongres Sains India: Internet dan Pesawat Ada sejak Zaman Mahabarata Kus memperingati agar tidak memandang identitas virtual di internet sebagai satu-satunya bukti eksistensi seseorang. Seharusnya, kita lebih mengapresiasi pengalaman dan interaksi secara langsung yang dapat menciptakan memori bersama yang dapat dikenang oleh orang terdekat. Kita perlu mengingat bahwa akun media sosial hanyalah sekedar media untuk memudahkan komunikasi, bukan indentitas total yang merepresentasikan seluruh aspek kehidupan kita di dunia nyata. Jangan biarkan internet dan media sosial menentukan dan mendikte tingkat self-esteem dan jati diri seseorang.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puasa Internet di Tengah Era Digital, Mungkinkah Hal Ini Dilakukan?", https://sains.kompas.com/read/2019/06/13/173200023/puasa-internet-di-tengah-era-digital-mungkinkah-hal-ini-dilakukan-?page=all.
Penulis : Julio Subagio
Editor : Gloria Setyvani Putri
ak dapat

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puasa Internet di Tengah Era Digital, Mungkinkah Hal Ini Dilakukan?", https://sains.kompas.com/read/2019/06/13/173200023/puasa-internet-di-tengah-era-digital-mungkinkah-hal-ini-dilakukan-?page=all.
Penulis : Julio Subagio
Editor : Gloria Setyvani Putri
ak dapat

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Puasa Internet di Tengah Era Digital, Mungkinkah Hal Ini Dilakukan?", https://sains.kompas.com/read/2019/06/13/173200023/puasa-internet-di-tengah-era-digital-mungkinkah-hal-ini-dilakukan-?page=all.
Penulis : Julio Subagio
Editor : Gloria Setyvani Putri

Memahami karakteristik Wireless Access Point kecepatan Wireless – Jumlah Klien Maksimal dari AP

Saat berdiskusi dengan teman2 di IT, seringkali pertanyaan yang muncul adalah tentang berapa jumlah klien maksimal dari sebuah Access Point/Hotspot? Saya akan mencoba menjelaskan secara sederhana. Teknologi Wireless dimulai dari Wireless A 802.11a (1 Mbps), lalu berlanjut ke B 802.11b (11 Mbps), tipe G 802.11g (54 Mbps), tipe N 802.11n(150 Mbps), tipe AC 802.11ac (upto 3.2 Gbps), dan yang terakhir tipe AD 802.11ad.

Lalu apa bedanya? Kenapa ada beberapa tipe wireless?

Jaringan Wireless bekerja dengan menggunakan teknologi gelombang radio. Signal diubah ke format digital dan dikirim via udara. Karena dalam bentuk gelombang radio, tentu ada frekuensi yang digunakan. Untuk Wifi, digunakan frekuensi 2.4 GHz, 5 GHz, dan 60 GHz. Kalau anda mendalami teknik radio, teori yang sama juga berlaku untuk Wifi. Tipe-tipe wireless yang dikembangkan bertujuan untuk mengkompresi data, dan membuatnya dikirim dan diterima dengan efisien. Tipe N sudah menggunakan 2 channel frekuensi dalam 2.4 GHz, tipe AC menggunakan frekuensi 2.4 GHz dan 5 GHz, tipe AD menggunakan frekuensi 60 GHZ.
Secara sederhana, frekuensi seperti denyut jantung. Semakin tinggi frekuensi, semakin cepat denyut jantungnya. Dalam pengiriman data, semakin tinggi frekuensi, semakin banyak data yang bisa dikirim, dan imbasnya adalah waktu tunggu yang rendah ~ kecepatan yang semakin tinggi. Saya akan membahas dengan detail untuk hal ini di artikel berikutnya.

Berapa jumlah klien maksimal dari sebuah Access Point?

  1. Bila Access Point memberikan alamat IP, maka teoritisnya jumlah klien maksimal adalah 253 (254 dikurangi alamat IP Access Point) karena biasanya Access Point menggunakan alamat IP tipe C, jadi hanya ada 253 klien.
  2. Jumlah klien maksimal bergantung pada aktivitas klien dan bandwidth yang diperlukan.
  3. Kemampuan chip Access Point sangat menentukan jumlah klien maksimal.
  4. Setiap AP bersifat half duplex, jadi kecepatan 54 Mbps adalah 27 Mbps download dan 27 Mbps upload. Prinsipnya seperti walkie talkie.

Bagaimana dengan Access Point yang mendukung MIMO (Multi Input Multi Output)?

  1. Tipe MIMO dikembangkan mulai wireless tipe N yang membuat wireless bukan lagi half duplex tapi sudah full duplex. Biasanya ditandai dengan antena minimal 2.
  2. Syaratnya untuk menggunakan teknologi ini, perangkat klien harus mendukung MIMO juga.
  3. Jika perangkat klien mendukung MIMO, berarti 150Mbps MIMO adalah 150 Mbps download dan 150 Mbps upload.

MIMO = Multi Input Multi Output
SIMO = Single Input Multi Outpot
MISO = Multi Input SIngle Output
SISO = Single Input SIngle Output

Baik, sekarang contohnya.

Contoh kasus 1

Saya mempunyai sebuah AP tipe G (54 Mbps), rata-rata klien membutuhkan bandwidth 1 Mbps karena semua maunya video streaming.
Wireless G adalah half duplex, jadi bandwidth teoritisnya adalah 27 Mbps. Secara real anda tidak akan mendapatkan 27 Mbps, karena posisi klien dan interferensi gelombang radio menjadi faktor pengurang. Anggap saja faktor pengurangnya adalah 80%
27 Mbps x 80% = 21.6 Mbps
Bila kemampuan chipset diragukan (tergantung merk, harga juga bicara), maka kita bisa masukkan faktor pengurangnya, anggap chipset paling jelek hanya bisa menangani sampai dengan 60% saja.
21 Mbps x 60% = 12,96 Mbps. Dibulatkan menjadi 13 Mbps.
Jadi berapa jumlah klien (@ 1 Mbps) maksimal dalam sebuah Access Point tipe G? Sekitar 13 klien. Lebih dari 13 klien, biasanya akan mengalami penurunan respon dan parahnya Access Point akan panas dan hang. Kalau bandwidth klien bervariasi, tinggal dibagi saja 13 Mbps itu dengan bandwidth rata-rata per klien. Untuk merk TPLINK harga 200rb-an biasanya hanya bisa menangani bandwidth 10 Mbps, saya jarang melihat AP yang murah bisa memberikan output bandwidth wireless yang besar.

Contoh Kasus 2

Saya mempunyai wireless tipe N (2xMIMO) 150 Mbps, bandwidth 1 Mbps per klien. Semua klien mendukung MIMO.
150 Mbps x 80% = 120 Mbps
Walau MIMO, wireless tetap seperti walkie talkie, artinya pengiriman data bergantian ke semua klien. Semakin banyak jumlah klien, berarti waktu antar klien tunggu semakin besar. Asumsikan saja karena ini 2xMIMO, artinya ada 2 radio di AP tersebut, setiap radio bisa kita asumsikan seperti wireless G, sekitar 15 klien. Kalau di Wireless G anda bisa memastikan minimal 10-13 klien dan masih lancar, maka di wireless N (150 Mbps), peningkatannya tidak serta merta 3 kali lipatnya wireless G (3 x 54 Mbps = 150 Mbps). Di lapangan, saya mendapatkan hanya sekitar 2-3 kali lipat dari wireless G, jadi berkisar di 20-30 klien (@1 Mbps) per Access Point.

Contoh kasus yang saya sudah lakukan:

  1. Diperlukan Access Point di kelas, digunakan hanya oleh 2 orang guru SD (maksimal 5-6 gadget). Beliin saja TPLink, murah meriah dan cukup.
  2. Diperlukan Access Point di kelas SMA, digunakan oleh siswa (kira2 30 orang). Saya pasang UBNT Unifi AP (Rufus muahal banget..)

Untuk petunjuk dasar gunakan prinsip berikut:

  1. Semakin banyak jumlah antena di Access Point, kecepatan semakin tinggi dan stabil karena jumlah radio pemancar/penerima lebih dari 1 buah. Ibaratnya seperti antrian di bank yang akan cepat terlayani kalau kasirnya lebih dari satu.
  2. Harga berpengaruh, susah menemui perangkat Access Point murah meriah dan bisa banyak user. Beberapa merk harganya minta ampun mahalnya, tapi berbanding lurus dengan kestabilan. Anda bisa cek perbandingan harga antara TP-LINK, UBNT dan Ruckus.
  3. Pemasangan AP perlu melihat kebutuhan di lapangan, dilihat dulu jumlah user di area tersebut baru ditentukan merk-nya.
  4. Anda tidak bisa mengontrol perangkat klien, kalau bisa seragam ya enak, tapi seringnya tidak seragam. Penggunaan wireless tipe N dan yang sudah mendukung tipe MIMO, akan memberikan performa lebih baik.
  5. Amati perangkat pengguna, bila banyak merk Apple, bisa dipikirkan untuk membeli wireless tipe AC untuk tempat-tempat yang padat pengguna. Merk Apple rata2 sudah mendukung wireless tipe AC.

Labels: , , ,

Access Point untuk Banyak User bersamaan

Access Point untuk Banyak User, Access Point (AP) untuk Banyak User Bersamaan dalam istilah sering disebut concurrent user (user pemakai bersamaan). WiFi kelas entreprise pada umunya sudah memiliki kemampuan ini. WiFi AP ini cocok untuk hight density WiFi dimana ada sebuah lokasi yang terbatas namun jumlah pengguna sangat banyak. Misalkan pada sebuah : aula, ruang kelas, Stadion Sepak Bola, ruang seminar dan sejenisnya. Pada satu waktu bisa saja banyak device (mobile, smartphone, laptop,dll) konek secara bersamaan.

AP Unifi WiFi dari Ubiquty , ini merupakan Access Point untuk Banyak User dengan harga kurang dari 1 juta sekitar 800-900an ribu, Kami sudah mencoba AP jenis ini mampu untuk banyak user. Saat akses penuh pernah teramatai pengguna hingga mencapai 50an user Access Point ini tidak macet/hang. User baru masih bisa konek dengan sempurna. WiFi dengan software Controller gratis ini cocok untuk pengguna yang ingin WiFi dengan user banyak namun buget terbatas.

Ruckus Enterprise, Rukus merek lain Access Point untuk Banyak User Smart Wireless LAN dengan cukup banyak produk penyediaan koneksi nirkabel yang tangguh, berperforma tinggi bagi ribuan pengguna secara serentak dalam sebuah perusahaan besar. Salah satu teknologi Ruckus adalah BeamFlex ™ yang telah dipatenkan untuk Beamforming. Salah stu tipe dari Ruckus 7372 access point di klaims mampu melayani hingga 500 simultaneous users [1].

Cisco Meraki di kalim mampu menangani pengguna hingga 100 user per AP dengan koneksi total hingga 1.75 Gbps per AP. [2]

Meru Network dalam sebuah video yang di upload di Youtube pada 2010 mampu menangani 500 user dengan bergam koneksi hingga 100 Mbps [3]. Pada jenis AP yang terbaru misalkan AP832 sudah mempunyai kecepatan maksimal 1,3 Gbps di Port LAN-nya.

Aruba Network secara teori bisa mencapai 255 per AP-nya dari ifnormasi di forum user yang ditangai emang beragam bisa sekitar 60-70 user. [4]

Xirrus WiFi network : Xirrus salah stu WiFi enterprise dengan (low cost) katanya [5] namun sepetinya harga AP masih cukup mahal, misalkan  XR-620 dihargai sekitar $675 mampu menangani pengguna hingga 240 user (penulis belum menemukan link hasil test/diuji).

Widensity merupakan wifi produk dari Hongkong dari video test wifi ini hingga 80 concurent user [6]

Secara praktis memang WiFi AP sebaiknya tidak dipaksa untuk melayani pengguna dengan jumlah yang maksimal, jika memang high density WiFi sebaiknya tetap dipasang beberapa WiFi sesuai kebutuhan.

Jika ada yang lain silahkan post di comment di bawah artikel ini.. terima kasih.

Referensi untuk anda yang butuh Access Point untuk Banyak User :
  1. Ruckus 7363 vs 7372 – Which one should I use
  2. Cisco Meraki High Density WiFi
  3. Video (2010) Testing very high density WiFi Meru Netwok
  4. Community Forum Aruba wensite
  5. Xirus (not) Low Cost WiFi 
  6. WiDensity dari P2 Mobile technologies ltd
sumber: https://imam.web.id/access-point-untuk-banyak-user-bersamaan-2015/



Labels: , , , , ,